Tak terasa, sebentar lagi kita memasuki bulan ramadan. Bulan di mana pada hakikatnya merupakan kesempatan untuk memperbaiki dan membersihkan diri.
Berikut adalah sepenggal kisah tentang perantau dalam menjalani hari-harinya di bulan ramadan.
Ramadhan kali ini, saya bersama kawan lama dari Jakarta. Saat ini, dia sedang berada di tempat saya di Kota Mobagu, Sulawesi Utara. Teman saya ini sudah datang sejak dua minggu sebelum puasa. Sekedar jalan-jalan sambil mencari pekerjaan yang cocok untuknya. Karena di tempat tinggalnya di Klender, JakartaTimur, dia sudah merasa terlalu sesak dan ingin mecari suasana baru. Begitulah dia berkata.
Menjelang bulan Ramadhan, temanku yang biasa dipanggil Deplor ini, sudah berniat untuk berpuasa. Dan dia sepertinya bersungguh-sungguh. Karena ternyata, selamaenam hari puasa ini dia tidak pernah ketinggalan berpuasa.
“Ini adalah prestasi, sejenis rekor begitu A. Karena disini pada puasa semuanya. Makanya Deplor juga gak pernah tergoda untuk Godin. Sip deh pokoknya”
Begitulah Deplor berkata sesaat setelah dia memasak untuk berbuka puasa. Karena di rumah ini hanya bertiga saja. Saya, Deplor dan Bang Dedi. Deplor biasa memanggil saya A atau Aa Roni. Dari umur memang Saya lebih tua darinya. Hmm! Ketahuan deh saya tidak muda lagi. Hehe.
Karena di rumah ini tidak ada perempuan, kami biasa masak bergantian. Bahkan sesekali kami masak bersama. Ya, seadanya saja. Yang penting gak terlalu aneh rasanya. Walaupun sesekali, kami memasak masakan yang berbeda dengan masakan yang ada di warung makanan. Karena rasanya cukup unik. Mulai dari kurang garam, kelebihan garam, bahkan pernah juga memasak yang entah bumbu apa yang kurang atau lebihnya. Yang jelas, rasanya paling unik. (Unik adalah penyebutan untuk rasa yang aneh dan tidak enak).
Makanan yang paling akrab dengan kami adalah mie rebus, mie goreng dan mie seduh. Karena memang paling mudah dibuatnya dan bisa disebut 100% pasti berhasil. Selama ini, kami bertiga memang tidak pernah mengalami kegagalan ketika memasak mie. Kami bertiga sudah lihai betul memasaknya. Singkatnya sudah diluar kepala deh untuk urusan memasak mie.
***Di bulan Ramadhan ini. Kami biasa memasak nasi dan membeli lauk pauknya di bu Rt. Dia berjualan hanya sekitar seratus meter dari tempat tinggal kami. Dan sayangnya, bu Rt hanya berjualan saat menjelang buka puasa saja. Sehingga untuk makan sahur, kami terpaksa harus memasak sendiri. Alhasil, sarden, abon dan kornet tidak pernah kekurangan stok di kulkas kami. Karena itulah yang bisa kami masak dengan resiko gagal yang minimum. Dan nomor satu yang tidak pernah kosong adalah mie.
Kemarin sore, Deplor mencetuskan ide yang sangat menarik. Dia punya usul untuk membuat agar-agar. itu cukup menarik karena saya dan bang Dedi tidak pernah membuatnya. Namun, Deplor meyakinkan kami bahwa dia bisa membuatnya. Dengan rasa yang tidak kalah dengan agar-agar yang di jual di warung bu Rt.
Deplor kemudian berbelanja bahan-bahan yang entah apa. Karena saya tidak mengerti apa yang dia beli. Dan tanpa buku panduan apapun, Deplor memasak dengan gaya mirip koki terkenal. Suara wajan di pukul nyaring dengan sesekali berkata.
”Tenang! Pokoknya, rasa agar-agar ini akan jadi paling enak se-Kota Mobagu”.
Mendengar itu, saya tersenyum saja. Dan sepertinya betul apa yang dikatakan Deplor, karena wanginya sudah dapat tercium. Persis seperti wangi kue-kue yang biasa di jual di warung bu Rt. Saya kemudian membeli es campur untuk menghindari kegagalan agar-agar yang Deplor buat. Saat itu, sekitar satu jam lagi berbuka puasa.
***
Cetakan agar/puding/hunkwe |
Beberapa menit menjelang berbuka puasa, Deplor sudah menyiapkan agar-agarnya. Ternyata ada tiga jenis. Ada yang berwarna hijau tua, hijau bening dan warna coklat. Yang warna coklat adalah agar-agar yang dicampur dengan susu anak-anak. Entahlah sepertinya waktu itu bang Dedi salah membeli susu. Karena ternyata ketika disimpan didalam kulkas dia langsung menepuk jidatnya.
“Salah beli aku. Malahan beli susu anak-anak” Begitulah dia berkata sambil tersenyum ke arah saya dan Deplor. Saya langsung membaca kemasannya. Dan setelah diketahui mengandung gula. Saya menyarankan itu tidak perlu ditukar, karena rasanya memang manis. Dan itu bukan masalah, “Biarlah susu anak-anak juga yang penting berasa manis.” Kamipun menyepakati untuk meminum susu anak-anak.
Adzan maghrib tiba. Dengan bangga Deplor mempersilahkan kami untuk mencicipi agar-agar buatannya. Dan yang paling dia banggakan adalah agar-agar special. Yaitu agar-agar yang dibuat dalam Sloki yang biasa digunakan untuk minuman keras.
“Karena aku sudah berhenti meminum CT, maka, aku gunakan aja slokinya sebagai tempat cetakan agar.”
Begitulah Deplor berkata. Saya dan bang Dedi sangat senang dengan perkataannya. Dan Alhamdulilah, di bulan suci Ramadhan ini, Deplor tidak pernah meminum minuman keras lagi. Mudah-mudahan saja itu akan berlanjut sampai setelah selesai bulan Ramadhan ini. Amiin…
Kembali ke agar-agar yang kami cicipi. Ternyata benar dugaan kami, agar-agar yang berwarna hijau tua dan hijau bening itu adalah rasa pandan. Kami dapat mencium wanginya. Namun sayang, rasa agar-agar itu terlalu dingin. Bukan karena pengaruh di simpan di dalam kulkas. Tapi memang tidak ada rasanya, tidak terasa manis sedikitpun.
“Memang ketika membuatnya tidak memakai gula. Dikirain udah ada rasanya.”
Deplor berkata sambil mengernyitkan dahi. Karena sepengetahuannya, membuat agar-agar itu tidak memakai gula. Saya dan bang Dedi menghibur Deplor dengan memakan beberapa potong agar-agar yang tidak ada rasanya itu.
Beruntunglah, yang berwarna coklat itu tidak begitu unik rasanya. Karena di campur susu, maka rasanya jadi manis. Walaupun kurang manis, tapi itu cukup menyerupai agar-agar sesungguhnya yang biasa di jual di warung bu Rt.
Begitulah cerita tentang agar-agar ini ditulis. Dan dengan bersemangat Deplor menyetujui untuk di publikasikan dalam media Online.
***O***
CT : Cap Tikus, sejenis minuman keras Khas Sulawesi Utara
0 komentar:
Posting Komentar